Timeskaltim.com, Samarinda – Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia (RI), Hilmar Farid, memberikan kuliah umum bertajuk “Memajukan Ekosistem Kebudayaan di Kalimantan” di Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, pada Selasa (08/10/2024).
Kegiatan ini dihelat, di Gedung Prof. Mas Jaya dan dihadiri oleh ratusan mahasiswa dari seluruh fakultas beserta perwakilan dosen Unmul.
Saat berada dihadapan para dosen dan mahasiswa Unmul, Hilmar memaparkan, pentingnya menjaga ekosistem kebudayaan lokal di Kalimantan, khususnya dengan melihat posisi yang kini telah menjadi pusat Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
“Peran pemuda sangat dibutuhkan untuk tahun-tahun mendatang, terutama dalam menjaga kekayaan budaya lokal dan mengembangkan potensi kebudayaan di Kalimantan,” ujar Hilmar.
Ia juga menyoroti, pentingnya peran ibu kota baru ini, tidak hanya sebatas menjadi pusat administrasi, tetapi juga sebagai poros kebudayaan nasional. Dan, selebihnya IKN harus mampu menyatukan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai modal sosial yang berharga.
“IKN Nusantara kedepannya harus dapat merangkul keberagaman budaya Indonesia dan menjadikannya pusat kebudayaan yang unggul, baik di tingkat nasional maupun internasional,” tambahnya.
Tak hanya itu, dalam materinya Hilmar mengatakan, kepada para mahasiswa dan akademisi harus mengambil pelajaran dari kota-kota diluar wilayah kita seperti, Brasilia dan Abuja, yang dimana perencanaan pembangunan daerah tersebut mengedepankan kolaborasi dari lintas sektor, termasuk masyarakat lokal dan komunitas budaya.
Lebih Lanjut, ia menyampaikan, bahwa kebudayaan yang dimiliki saat ini, harus dilihat sebagai investasi jangka panjang, sehingga dampak yang ditimbulkan kedepannya bakal ke arah sektor ekonomi dan ilmu pengetahuan.
“Potensi kekayaan biokultural hutan Kalimantan yang dapat dikembangkan dalam sektor industri kesehatan dan kesejahteraan. Dan, hutan tidak hanya dilihat sebagai lahan, tetapi juga sebagai sumber daya genetik dan biokultural yang dapat memperkuat Indonesia dalam industri wellness,” jelasnya.
“Kebudayaan bukan sekadar warisan, tetapi modal penting dalam menghadapi tantangan modern seperti digitalisasi dan urbanisasi,” timpal Hilmar.
Terakhir, Hilmar menekankan, pentingnya konsolidasi antara komunitas lokal sebagai penjaga pengetahuan tradisional dan perguruan tinggi sebagai pusat inovasi.
Dengan demikian, ia berhadap, kuliah umum ini dapat membangkitkan semangat para mahasiswa untuk berperan aktif dalam melestarikan kebudayaan Indonesia.
“Tantangan modernitas harus dilihat sebagai peluang untuk memperkuat identitas dan daya saing bangsa, bukan sebagai ancaman terhadap kebudayaan lokal,” (Rob/Wan)