
Penulis: Ramli Lahaping.
Karena itu, ia pun jadi bertanya-tanya sendiri, apakah itu karena tulisan cerpennya yang memang tidak bagus
FADLI BARU SAJA SELESAI MANDI. Ia lantas beranjak ke ruang keluarga dan menyalakan televisi.
Sekejap berselang, Soni, anaknya, datang dan duduk di sampingnya. “Pak, aku butuh uang,” kata sang anak kemudian.
Sontak, Fadi mendengkus kesal. Ia merasa kalau belakangan, sang anak makin sering saja meminta uang kepadanya. “Untuk apa lagi?”
Sang anak pun menunduk dan memampang raut segan. “Untuk urusan tugas sekolah, Pak. Untuk praktik FF dan ML,” jawab sang anak yang merupakan seorang siswa kelas I SMK, jurusan teknik komputer.
“Praktik apa itu?” tanya Fadi, penasaran. Ia benar-benar tidak punya bayangan soal istilah tersebut.
“Praktik aplikasi internet, Pak. Soal grafis bergerak,” terang sang anak. “Aku perlu membeli beberapa perangkat untuk itu.”
Fadi berusaha memahami penjelasan anaknya secara harfiah. Tetapi setelah mencoba mencerna, ia malah pusing. Ia merasa tak akan bisa memahami persoalan teknologi tersebut. Karena itu, ia pasrah saja untuk menuruti permintaan sang anak. “Kau perlu berapa?”
Sang anak pun tersenyum. “Seratus ribu, Pak.”
Akhirnya, dengan setengah tulus, Fadi mengambil selembar uang pecahan seratus ribu rupiah dari kantong celananya yang tergantung di dinding.
Ia lantas memberikannya kepada sang anak. “Jangan boros-boros, apalagi menggunakan uang untuk urusan yang tidak berguna. Kita perlu berhemat untuk mengongkosi banyak keperluan kita.”
“Baik, Pak,” pungkas sang anak dengan raut semringah, lantas melangkah keluar rumah.
Saat ini, Fadi memang merasa sepatutnya berhemat. Ia tak ingin gajinya sebagai guru ludes untuk urusan-urusan yang tidak penting. Apalagi, di tengah pendemi virus corona yang berkepanjangan, ternyata pengeluarannya sekeluarga malah tambah banyak. Itu karena berdiam diri di rumah telah membuat mereka bosan dan jadi lebih konsumtif.
Paling tidak, istrinya jadi gandrung mengoleksi bunga berharga mahal dan makin sering berbelanja secara daring, sedang anaknya makin doyan memesan makanan dari para penjaja yang lewat di depan rumahnya.
Akhirnya, atas perkara yang kurang menyenangkan baginya tersebut, Fadi pun memulai hari Minggu ini dengan kesuntukan. Apalagi, ia tak bisa berlibur ke mana-mana di tengah pembatasan sosial. Padahal, ia merasa sudah sangat jenuh menjalani aktivitasnya yang berulang. Pasalnya, sebagai seorang guru bahasa Indonesia di sebuah SMP, kemarin-kemarin, ia hanya mendekam di rumahnya, sembari terus menatap layar laptop untuk memberikan pelajaran kepada para siswanya.
Bahkan di hari Minggu ini, Fadi merasa lebih jemu ketimbang hari-hari Minggu sebelumnya. Itu karena ia telah melakoni aktivitas tulis-menulis secara serius, yang ia rasa baik untuk menjadi hobi barunya, tetapi ia malah tidak mendapatkan respons seperti yang ia harapkan. Ia telah menulis beberapa cerpen yang kemudian ia kirim ke media cetak, tetapi tak satu pun di antaranya yang berhasil termuat di halaman koran.
Ia memang merasa sangat kecewa atas cerpennya yang tidak mendapatkan apresiasi, sebab di luar tujuannya untuk sekadar membunuh waktu, ia juga ingin mendapatkan penghargaan diri di dalam urusan percerpenan tersebut. Paling tidak, ia ingin memberikan contoh nyata kepada para siswanya perihal pemanfaatan kekayaan bahasa Indonesia dalam ranah fiksi, juga meningkatkan gengsi dan wibawanya sebagai seorang guru bahasa Indonesia.
Tetapi apa mau dikata. Pengetahuan dan keahliannya terkait bahasa Indonesia, ternyata belum bisa membuatnya menghasilkan karya sastra yang dianggap layak untuk dimuat di media massa. Karena itu, ia pun jadi bertanya-tanya sendiri, apakah itu karena tulisan cerpennya yang memang tidak bagus, atau karena para redaktur sastra yang malah tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengidentifikasi kualitas karya.
Akhirnya, ia merasa kesal atas misinya yang tidak berjalan baik dalam persoalan cerpen. Ia merasa gerah menemukan bahwa halaman-halaman sastra koran di hari Minggu tak juga memuat cerpennya.
Karena itu, pada hari Minggu yang ketujuh usahanya menjadi cerpenis di hari ini, ia tak mau lagi berharap bahwa cerpennya akan termuat. Saat ini, ia hanya ingin waktu bergulir cepat dan masa tunggu pemuatan semua cerpennya berlalu, sehingga ia bisa menunaikan rencanannya untuk membuat blog dan memuat semua tulisannya di sana.
Sesaat kemudian, dengan perasaan malas, Fadi lalu beranjak ke teras depan rumahnya untuk menenangkan pandangan dan perasaannya. Ia lantas duduk di sebuah kursi, lalu menyesap segelas kopi buatan istrinya yang sudah menghangat. Tanpa harapan apa-apa, ia kemudian mengambil seberkas koran yang tergeletak di atas meja, yang tampak terbuka dan aur-auran, seolah telah disibak-sibak oleh istri atau anaknya. Tanpa antusias, ia pun membukanya untuk melihat-lihat berita yang senantiasa tidak menyenangkan. Sampai akhirnya, ia terperanjat setelah ia sampai di halaman rubrik sastra, dan ia menemukan cerpennya terpanjang di sana.
Seketika pula, suasana hatinya berubah. Tumpukan kekesalan dan kekecewaan yang sebelumnya menyesaki pikirannya, tiba-tiba sirna. Ia merasa melanglang ke mana-mana di tengah aturan pembatasan sosial yang mengerangkeng raganya. Ia merasa tengah menandangi orang-orang dengan buah pikirannya di koran, meski tanpa bertemu secara langung. Kenyataan itu sungguh membuatnya merasa diri sebagai sosok yang luar biasa.
Beberapa lama kemudian, setelah buai-buai kegembiraanya mereda, ia lantas mencermati muatan cerpennya tersebut. Ia ingin memastikan bahwa tidak ada kesalahan tata bahasa dan substansi cerita yang terjadi akibat keteledorannya sendiri atau kekeliruan redaktur dalam pengeditan, yang bisa membuat pembaca terganggu dan kurang berkenan. Dan akhirnya, ia memastikan bahwa cerpennya itu telah termuat dengan cukup baik.
Tak lama berselang, nada ponselnya berbunyi. Ia lantas membuka sebuah pesan yang masuk di aplikasi Whatsapp, kemudian membacanya dengan antusias: Salam. Kami ingin menginformasikan bahwa cerpen Anda telah kami muat di rubrik sastra hari ini. Soal honorariumnya, akan segera kami kirimkan ke rekening Anda. Terima kasih.
Seketika pula, ia melayangkan balasan dengan perasaan gembira: Terima kasih banyak.
Akhirnya, ia pun tersenyum-senyum sendiri membayangkan bahwa ia akan mendapatkan sejumlah uang atas pemuatan cerpennya. Ia merasa itu lumayan untuk membantunya mengongkosi keperluan hidupnya sekeluarga. Ia bahkan jadi tak merisaukan lagi perkara uang yang ia berikan kepada anaknya untuk kesekian kalinya, sebab honorariumnya itu jauh lebih banyak daripada apa yang telah ia berikan kepada sang anak beberapa saat yang lalu.
Kini, atas imbalan yang akan ia dapatkan, ia pun terpacu untuk lebih giat menulis cerpen dan mengirimnya ke media-media yang menawarkan honorarium. Ia mulai terpikir bahwa hobi barunya tersebut tidak saja berguna baginya untuk mendapatkan ketenaran dan kebanggaan, tetapi juga untuk mendapatkan tambahan pemasukan bagi keuangannya.
Tetap akhirnya, ia kembali mempertanyakan perihal ukuran-ukuran umum yang menjadi acuan para penjaga gawang rubrik sastra dalam menilai kualitas cerpen. Ia berhasrat memahaminya, agar pada kesempatan selanjutnya, ia makin mudah meloloskan cerpennya di media massa. Apalagi, ia merasa bahwa cerpennya yang baru saja terbit, tidak lebih baik daripada cerpen-cerpen kirimannya yang masih menggantung dalam masa peninjauan para redaktur.
- Baca Juga: Memberinya Hidup Sesudah Mati (Ep:1)
Penilaiannya bahwa satu cerpennya yang telah tersiar itu kurang baik ketimbang yang lain, tentu beralasan. Setidaknya, ia merasa bahwa cerita tersebut sangat sederhana. Hanyalah tentang kisah nyata seorang teman baiknya semasa SMA dahulu yang kemudian ia pelintir seadanya. Sebatas tentang seorang siswa kelas II SMK jurusan teknik otomotif yang terhitung bandel di lingkungan sekolah.
Ceritanya, siswa tersebut membutuhkan ongkos untuk membeli rokok. Sang siswa kemudian menghadap kepada ayahnya dan mengatakan bahwa ia butuh uang untuk praktikum smoking di sekolahnya. Akhirnya, sang ayah yang tidak tamat sekolah dasar bertanya perihal urusan tersebut, dan sang siswa memberikan penjelasan dengan bahasa yang ruwet. Karena pusing dan merasa tidak akan bisa mengerti, sang ayah pun turut saja dan memberikan uang sesuai permintaan sang siswa. Demikianlah.
Tetapi untuk membuat cerita tersebut sedikit dramatis, Fadi kemudian menggunakan daya imajinasinya untuk meramu bagian akhirnya. Fadi pun mengisahkan bahwa pada satu hari, ayah siswa tersebut pergi ke pasar dan singgah di sebuah salon untuk memangkas rambutnya. Hingga akhirnya, ayah siswa tersebut bertanya-tanya setelah ia melihat tulisan di dinding: No Smoking/Dilarang Merokok. Seketika pula, ayah siswa tersebut jadi tak sabar untuk pulang ke rumahnya dan menghukum sang siswa. Begitulah.
Namun kini, meski ia merasa tidak puas atas hasil karyanya tersebut, ia tetap bersyukur. Paling tidak, redaktur sudah memilihnya, sehingga cerpen itu tetap terhitung cukup baik. Apalagi, ia merasa bahwa cerpen itu akan cukup mampu memberikan hiburan kepada para pembaca, juga memberikan pengajaran khusus kepada anak-anak sekolah yang masih labil, agar mereka tidak membodoh-bodohi orang tua mereka yang telah berjuang mengongkosi sekolah mereka.
Akhirnya, atas kesenangannya yang mengungguli kejemuannya hari ini, Fadi pun bersemangat untuk menjalani pagi dengan aktivitas yang berarti. Ia lantas bangkit dari duduknya, dan beranjak ke halaman depan rumahnya. Ia lalu menyiram bunga-bunga yang tak lain adalah urusan istrinya. Ia melakukannya dengan senang hati, tanpa merisaukan lagi bahwa istrinya telah banyak menghabiskan uangnya untuk membeli dan memelihara tanaman-tanaman hias tersebut.
Sesaat kemudian, di tengah keriangannya, tiga orang anak tetangganya yang masih duduk di bangku SMP, tampak berjalan di depannya, sembari membahas perihal yang asing di telinganya. Ia sungguh tak paham perihal apa yang mereka obrolakan, sebab mereka berkomunikasi dengan istilah-istilah asing. Tetapi akhirnya, dari mereka, ia kembali mendengar pelafalan istilah dari sang anak yang telah tertancap di memorinya: FF dan ML.
Seketika, Fadi jadi bertanya-tanya. Ia pun menahan mereka dan menyelidik, “FF dan ML yang kalian obrolkan itu apa, sih?”
Mereka pun tertawa.
Seorang anak kemudian menjawab, “Free Fire dan Mobile Legend, Om.”
Fadi jadi makin penasaran, “Apa itu?”
“Gim online, Om,” jawab sang anak itu lagi.
Seketika, Fadi jadi geram dan tak sabar untuk menanti kedatangan anaknya yang entah ke mana.(*)
*Penulis lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi(sarubanglahaping.blogspot.com).