tutup
NasionalPolitik

Komite I DPD RI Kritik Pemisahan Jadwal Pemilu dan Pilkada oleh MK

351
×

Komite I DPD RI Kritik Pemisahan Jadwal Pemilu dan Pilkada oleh MK

Sebarkan artikel ini
Ketua Komite I DPD RI, Dr. dr. H. Andi Sofyan Hasdam, Sp.N. (Berby/Times Kaltim)

Timeskaltim.com, Samarinda — Ketua Komite I DPD RI, Dr. dr. H. Andi Sofyan Hasdam, Sp.N, memaparkan sejumlah persoalan krusial terkait sistem demokrasi dan tata kelola pemerintahan dalam konferensi pers di Kantor Perwakilan DPD RI Kalimantan Timur, Selasa (5/8/2025).

Dalam agenda tersebut, Andi Sofyan menyoroti hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal Pemilu Nasional dan Pilkada dengan jeda waktu 2,5 tahun. Menurutnya, keputusan ini menimbulkan persoalan hukum karena dapat memperpanjang masa jabatan kepala daerah hingga 7,5 tahun, yang bertentangan dengan amanat konstitusi.

“Pasal 18 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun. Jika ada kepala daerah menjabat 7,5 tahun akibat jeda tersebut, maka ini menjadi kontradiksi konstitusional,” ujarnya kepada wartawan.

Andi Sofyan menjelaskan, dorongan pemisahan jadwal awalnya muncul dari beban teknis pemilu serentak yang tinggi, termasuk kejadian banyaknya petugas yang gugur pada Pemilu sebelumnya. Namun, ia mengingatkan bahwa solusi administratif jangan sampai mengorbankan prinsip dasar demokrasi.

“Keputusan MK memang final dan mengikat. Tapi ini harus menjadi perhatian serius dalam revisi Undang-Undang Pemilu ke depan,” tegas mantan Wali Kota Bontang itu.

Ia juga menanggapi wacana yang kini kembali mengemuka soal sistem pilkada. Ada usulan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, bukan lagi melalui pemungutan suara langsung oleh rakyat.

Andi Sofyan mengutip pandangan pakar tata negara, Prof. Ryaas Rasyid, yang menyebut sistem pemilu langsung sejatinya bukan hasil resmi reformasi, melainkan lahir pasca reformasi berjalan.

“Kalau kita lihat sejarahnya, dulu kepala daerah dipilih DPRD. Sistem langsung baru muncul tahun 2004. Tapi sekarang muncul pertanyaan lagi, apakah sistem langsung efektif? Atau justru lebih tepat kembali melalui DPRD?” ucapnya.

Meski demikian, ia mengakui sistem langsung tetap diperlukan untuk mendorong partisipasi publik. “Kalau dikembalikan ke DPRD, ada risiko mundur. Tapi pemilu langsung juga tak lepas dari problem, terutama jika masyarakat belum memiliki pendidikan politik memadai,” tambahnya.

Di luar isu kepemiluan, Andi Sofyan juga mengulas upaya Komite I dalam merevisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Ia menyoroti makin terbatasnya kewenangan daerah, terutama setelah urusan strategis seperti tambang dan kehutanan dialihkan ke pusat.

“Banyak kepala daerah sekarang merasa seperti hanya pelaksana pusat. Otonomi seperti tak lagi utuh,” ungkapnya.

Komite I, lanjutnya, sedang mengumpulkan masukan dari asosiasi pemerintah daerah seperti APEKSI dan APKASI untuk memperkuat posisi daerah dalam revisi UU tersebut. Selain itu, RUU Masyarakat Adat dan RUU Daerah Kepulauan juga menjadi fokus utama pembahasan Komite I.

“Kami ingin memastikan daerah-daerah dengan karakteristik khusus, seperti masyarakat adat atau wilayah kepulauan, benar-benar diakomodasi secara adil,” tandasnya. (Bey)