Timeskaltim.com, Samarinda – Pemerintah RI telah menunjukan sinyal kuat terhadap kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula dari 11 persen menjadi 12 persen. Rencana, akan terealisasi pada tahun 2025. Hal ini diyakini berpotensi menekan daya beli masyarakat.
Melalui sambungan telepon, pengamat ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Purwadi Purwoharsojo, mengatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN ini, berpotensi menekan daya beli masyarakat yang saat ini melemah, sehingga berpotensi memperlambat laju konsumsi rumah tangga, karena kenaikan PPN turut mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa.
“Situasinya sangat tepat ya, hal ini justru menciptakan kesan bahwa negara sedang mengejar setoran,” ungkapnya pada wartawan Times Kaltim, Selasa (13/08/2024) pukul 15.35 Wita.
Ia juga menyebutkan bahwa, sejauh ini pemerintah seperti melaukan upaya tarik menarik uang masyarakat, mulai dari TAPERA hingga kini kenaikan tarif PPN.
“Sejauh ini daya beli masyarakat kita sedang turun, bahkan ada perpindahan kelas karena memang rentan sekali ini, hampir 30 sampai 40 persen menengah kebawah sudah berpindah menjadi kelas bawah,” ujarnya.
Purwadi bilang, hal demikian diperparah dengan pindahnya kelas bawah menjadi miskin kemudian menjadi miskin ektream, karena memang daya belinya menurun.
“Pasti terjadi pergeseran kesana, karena masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Karena begin gaji tidak naik, rupiah dan dollar yang masih betengger menguwatirkan, serta angka inflasi yang masih tinggi,” katanya.
Ia juga menyinggung soal konsistensi pemerintah dalam meninggkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, yang sejauh ini masih bertahan diangka 5,5 persen padahal janji pemerintah ingin menaikan diangka 7 persen.
“Saya yakin bahwa dampaknya sangat terasa bahkan sampai pada dunia usaha kita terganggu, karena produktifitas jalan tapi minat pembeli menurun, sehingga harus menurunkan angkat produktifitas,” lugasnya.
Purwadi juga membeberkan, ketika produktifitas dunia usaha dikurangi akibat minat beli yang menurun, maka fenomen pengurangan tenaga kerja (PHK) akan muncul.
“Sejauh ini sudah sangat tinggi angka PHK, baik dibidang tekstil dan industril, hal ini ini juga didukung oleh industri manufaktur kita yang kurang yaitu di bawah 50 persen, karena dihajar manufaktur impor kan” urainya.
Kendati demikian, menurut purwadi sejauh ini pemerintah sangat suka impor mengimpor, mulai dari bahan pokok seperti padi, beras, jagung, kedelai. Hingga pada bahan-bahan manufaktur yang juga di impor mulai dari, besi, keramik, hingga baja.
“Mungkin kangkung aja lagi yang belum di impor, karena masih bisa ditanam di dekat rumahkan,” ucapnya.
Diakhir ia juga menjelaskan bahwa, dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja pemerintah justru niat membuat resah masyarakat.
“naiknya harga bahan bakar jenis Pertamax, juga akan berpengaruh pada transportasi karena akan naiknya harga jual barang.(Has/Wan)