Timeskaltim.com, OPINI – Pemerintah menargetkan pembentukan Pemerintah Daerah Khusus (Pemdasus) Ibu Kota Nusantara (IKN) pada tahun 2028. Namun, struktur kelembagaan yang disiapkan justru menanggalkan prinsip-prinsip dasar demokrasi lokal yang telah dibangun sejak era reformasi.
Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, menyatakan bahwa pemebentukan Pemdasus adalah tonggak penting untuk mewujudkan IKN sebagai “Kota Dunia untuk Semua”. Menurutnya, persiapan kelembagaan tengah dilakukan untuk menyokong rencana deklarasi pada tahun 2028, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang IKN (Alexander, 2025).
Namun, rancangan yang disusun tetap mempertahankan struktur teknokratis: Otorita IKN berada langsung di bawah Presiden, tanpa DPRD dan tanpa mekanisme pemilihan kepala daerah oleh masyarakat. Kewenangan Otorita mencakup tata ruang, investasi, pengendalian lingkungan hidup, hingga pelayanan publik—semua dijalankan tanpa kontrol legislatif daerah atau forum representasi warga.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa apakah IKN justru sedang dibangun dengan pola tata kelola yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi lokal?
Desentralisasi Bukan Sekadar Pembagian Tugas
Sejak reformasi 1998, Indonesia menempuh jalur desentralisasi untuk memperkuat demokarasi lokal. Ini bukan semata-mata soal efisiensi birokrasi, tapi juga redistribusi kekuasaan agar warga punya kendali atas pemerintahan di tingkat daerah.
Smoke (2015) menegaskan bahwa desentralisasi yang sehat mencakup tiga aspek utama yakni politik, administratif, dan fiskal. Tanpa aspek politik—seperti pemilu di tingkat lokal dan DPRD—pemerintah daerah hanya akan menjadi perpanjangan tangan pusat.
Begitu pula menurut Smith (2023), desentralisasi politik diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dan mengawasi kekuasaan secara langsung. Demokrasi lokal bukan pelengkap, melainkan fondasi pemerintahan daerah yang akuntabel.
Kekuasaan Terpusat di IKN: Siapa yang Mengawasi?
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 menyebut IKN sebagai daerah otonom khusus, namun tidak mengikuti kerangka pemerintahan daerah sebagaimana provinsi atau kabupaten/kota lain di Indonesia.
IKN dikelola oleh Otorita IKN, sebuah lembaga setingkat kementerian yang pemimpinnya—Kepala dan Wakil Kepala Otorita—diangkat langsung oleh Presiden. Tidak ada DPRD. Tidak ada pemilihan kepala daerah oleh warga. Tidak ada saluran resmi bagi masyarakat untuk ikut merumuskan atau mengawasi kebijakan daerah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (2022), menyebutkan bahwa struktur ini Ia sebut sebagai “anomali tata kelola”. Ia menilai bahwa meskipun secara hukum IKN disebut sebagai daerah otonom, praktiknya justru menghapus semua elemen demokrasi lokal yang menjadi ciri utama desentralisasi di Indonesia.
Risiko Demokrasi yang Hilang
Model pemerintahan seperti ini menghadirkan tiga risiko utama:
Tanpa DPRD, tidak ada mekanisme pengawasan (check and balances) terhadap otorita dari dalam daerah itu sendiri.
Warga IKN tidak punya hak memilih pemimpinnya atau menyampaikan aspirasi melalui wakil rakyat daerah.
Sementara warga daerah lain memilih bupati, wali kota, dan gubernur secara langsung, namun warga IKN tidak punya akses ke hak politik lokal yang sama.
Desentralisasi tanpa demokrasi lokal berpotensi membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Seperti dikemukakan oleh Rondinelli (1981), sistem yang mengabaikan partisipasi warga justru kontraproduktif bagi stabilitas dan efisiensi pemerintahan jangka panjang.
Bagaimana dengan Daerah Khusus Lain?
Status daerah khusus sebenarnya bukan hal baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kita mengenal DKI Jakarta dan DIY Yogyakarta. Namun, keduanya tetap mempertahankan institusi perwakilan; DKI punya DPRD dan melaksanakan Pilkada; DIY meskipun bersifat monarki konstitusional, tetap memiliki DPRD dan sistem check and balances lokal. Tetapi IKN? justru menjadi preseden baru kerena menghapus nyaris seluruh elemen demokrasi lokal, dengan dalih efisiensi dan percepatan pembangunan.
Pemerintah Menekankan Stabilitas dan Kesinambungan
Pemerintah pusat berdalih bahwa model teknokratis OIKN dirancang untuk menjamin kesinambungan proyek dan menghindari gangguan politik elektoral. Namun, efisiensi tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mencabut hak-hak politik masyarakat. (Nurdin, 2022)
Stabilitas yang bertumpu pada kekuasaan tertutup justru berisiko menciptakan ketimpangan dan resistensi dari masyarakat, apalagi jika kebijakan daerah tidak mencerminkan kebutuhan nyata warga IKN.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Jika IKN ingin menjadi “Kota Dunia untuk Semua”, maka tata kelolanya harus merefleksikan prinsip demokrasi dan inklusivitas.
Beberapa langkah korektif yang bisa dipertimbangkan:
Kesimpulan: Kemajuan tanpa Demokrasi adalah Kontradiksi
IKN adalah proyek besar yang menggambarkan ambisi Indonesia di masa depan. Namun, masa depan yang beradab tidak bisa dibangun dengan model pemerintahan yang menutup ruang bagi suara rakyat.
Desentralisasi adalah hasil perjuangan panjang reformasi. Jika IKN justru menghapus prinsip-prinsip demokrasi lokal, maka kita perlu bertanya kembali; kota seperti apa yang sedang kita bangun?
Opini ini ditulis oleh Muhammad Fitrah, S.I.P. (Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada)
Referensi
Nurdin, M. R. (2022). Desentralisasi Dan Kekhususan Pelaksanaan Otonomi Daerah Otorita Ibu Kota Nusantara. Jurnal Lex Renaissance, 7(3), 617–633. https://doi.org/10.20885/jlr.vol7.iss3.art12
Rondinelli, D. A. (1981). Government Decentralization in Comparative Perspective. International Review of Administrative Sciences, 47(2), 133–145. https://doi.org/10.1177/002085238004700205
Smith, B. C. (2023). Decentralization: The Territorial Dimension of the State. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781003404927
Smoke, P. (2015). Rethinking Decentralization: Assessing Challenges to a Popular Public Sector Reform. Public Administration and Development, 35(2), 97–112. https://doi.org/10.1002/pad.1703
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara.